MAKALAH
USHUL FIQIH
DOSEN
PENGAMPU
ERPENDI, S.Th, M.A
Disusun Oleh :
SARTINAH
LOKAL : PAI III. E
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT dengan izinNya lah
sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Serta tidak lupa pula shalawat serta salam kepada junjungan Nabi
besar Muhammad saw. Dengan ucapan Allahumma shalli’ala muhammad wa’ala ali
muhammad.
Makalah ini disiusun untuk memenuhi
salah satu tugas dari dosen mata kuliah Ushul Fiqih . Dalam
makalah ini akan menguraikan tentang al-‘am, al-khass, muthlaq dan muqayyad.
Ucapan terima kasih saya ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah
ini terutama kepada dosen pengampu yang telah memberikn arahan.
Kemudian karena terbatasnya pengetahuan
kami, patutlah dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan
kekhilafan. Untuk itu, saya mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun
dalam penyelesaian makalah berikutnya.
Tembilahan,
2014
SARTINAH
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN
A. Al-‘Aam....................................................................................................... 3
1. Pengertian Al-‘am.................................................................................... 3
2. Bentuk-bentuk Lafadz ‘am...................................................................... 3
3. Dalalah ‘am.............................................................................................. 5
4. Macam-macam ‘am.................................................................................. 7
B. Al.-Khass..................................................................................................... 8
1. Pengertian Al-khass................................................................................. 8
2. Dalalah khas............................................................................................. 8
|
1. Pengertian Takhshish............................................................................... 9
2. Macam-macam Takhshish........................................................................ 9
C. Muthlaq dan muqayyad............................................................................... 14
1. Pengertian Muthlaq.................................................................................. 14
2. Pengertian Muqayyad.............................................................................. 14
3. Bentuk-bentuk muthlaq
dan muqayyad.................................................. 15
4. Hukum lafazh muthlaq
dan muqayyad.................................................... 15
5. Hal-hal yang
diperselisihkan dalam muthlaq dan muqayyad.................. 16
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................. 17
B. Saran............................................................................................................ 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai
pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum
syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci.
Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan
hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting
diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz
‘am dan lafadz{ khas. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas
secara lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, bentuk,
dalalah, dan macam-macam ‘am?
2.
Apa pengertian dan dalalah khass?
3.
Apa pengertian, bentuk, dan hukum lafazh muthlaq?
4.
Apa pengertian, bentuk., dan hukum lafazh muqayyad?
5.
Apa saja yang diperselisihkan dalam muthlaq dan muqayyad?
C. Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian, bentuk, dalalah, dan
macam-macam ‘am
2.
Untuk mengetahui pengertian dan dalalah khass
3.
Untuk mengetahui pengertian, bentuk, dan hukum lafazh
muthlaq
4.
Untuk mengetahui pengertian, bentuk, dan hukum lafazh
muqayyad
5.
Untuk mengetahui apa saja yang diperselisihkan dalam
muthlaq dan muqayyad
6.
Untuk memenuhi tuga dari dosen mata kuliah ushul fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
‘AMM DAN KHASS
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
A. ‘AM
1. Pengertian ‘am
‘Am menurut
bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah “LAFADH yang memiliki pengertian umum, terhadap
semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu “.Dengan pengertian lain, ‘am
adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang
terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas[1].
2. Bentuk-bentuk lafadz ‘am
Lafadz ‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu,
diantaranya:
a. LAFADH كل
(setiap) dan جامع (seluruhnya). Misalnya: sabda Rasulullah saw.
كُلُّ رَاعٍ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَت
كُلُّ رَاعٍ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَت
“Setia pemimpin diminta pertanggungjawaban
terhadap yang dipimpinnya”
هُوَالَّذِيخَلَقَلَكُمْمَافِيالْأَرْضِجَمِيعًا
“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
LAFADH كل dan حامع tersebut di atas, keduanya mencakup
seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b. Kata
jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Para
ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
orang ingin menyempurnakan penyusuannya”.
(Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
c. Kata
benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam. Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah:275).
LAFADH al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
LAFADH al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. LAFADH
Asma’ al-Mawshul. Seperti ma, al-ladziina, al-ladzi dan sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”.(An-Nisa:10)
e.
LAFADH Asma’ al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), Seperti
kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
f. Isim
nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kata لَا جُنَاحَ dalam ayat
berikut:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَ
“dan
tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).
3. Dalalah
Lafadz ‘am
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah,
berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di
dalamnya. Demikian pula, lafa{dz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya
juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah
ushuliyah yang berbunyi:
مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ خُصِّصَ
“Setiap
dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh
karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan
pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’, Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang
mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh
bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali.
Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih
tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum,yangberbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْه
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْه
“dan janganlah kamu memakan binatang yang
tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”.(Al-An`âm:121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:
المْسْلِمُ يَذْبَحُ عَلَى اسْمِ اللهِ سَمَّى أَوْ لمَ يُسَمِّ . (رواه أبو داود)
“Orang Islam itu selalu menyembelih
binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R.
Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut
qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi
itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.Ulama Syafi’iyah
membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut.
Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu
dzanniy dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad
SAW.
4. Macam-macam
lafadz ‘am
a. Lafadz
‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan
tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).(Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).(Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus
karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu.Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120). Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120). Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c. Lafadz
‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian
cakupannya.
Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوء
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru(Al-Baqarah:228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
B. LAFADH KHASH
1. Pengertian
lafaz khas
Khas
ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum,
dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut
istilah, definisi khas adalah:“Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk
menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu
jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga
belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan
lafadh-LAFADH lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak
mencakup semua satuan-satuan itu”. J adi, khas adalah lafazh ( perkataan ) yang dapat
menunjukkan arti sesuatu yang tertentu dari orang, barang, atau hal-hal lain
serta tidak meliputi arti umum.[2]
2. Dalalah Khash
Dalalah
khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan
hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil
yang memalingkannya kepada makna yang lain.
Misalnya,
firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِ
Tetapi
jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
LAFADH tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah
khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang
dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan
dalalah hukumnya pun qath’iy.Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas
harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi
yang berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاة
“Pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor
kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
TAKHSHISH
1. Pengertian
Takhshish
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadh
khas, tidak bisa terlepas dari takhshish. Menurut Khudari Bik dalam bukunya
Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya.
Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup
oleh lafadz ‘am dengan dalil. Takhsis adalah
menjelaskan bahwa maksud hukum syara’ sejak semula dari lafazh ‘am itu adalah
sebagian afrodnya.[3]
2. Macam-macam takhshish
a. Mentakhshish ayat Al-Qur’an
dengan ayat Al-Qur’an. Misalnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوء
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqarah:228).
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan surat At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.(At-Thalaq:4) Dapat pula ditakhshish dengan suratAl-Ahzab:49:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya”.(Al-Ahzab:49).
Dengan
demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci
tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan
belum pernah digauli.
b. Mentakhshish
Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Misalnya firman Allah dalam Al-Maidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya(sebagai)”.(Al-Maidah:38).
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai
barang yang dicuri. Kemudian ayat di
atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
لاَ قَطْعَ فِي أَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِيْنَارٍ . (رواه الجماعة)
“Tidak
ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya
kurang dari seperempat dinar”. (H.R. Al-Jama’ah).
Dari
ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang
dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
c.
Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Misalnya hadits Nabi SAW yang berbunyi
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ خَتىَّ يَتَوَضَّأَ . متفق
“Allah
tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia
berwudhu”. (Muttafaq ‘Alayh).
Hadits
di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam Al-Maidah ayat 6:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Al-Maidah:6).
Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.
Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.
d.
Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah. Misalnya hadits Nabi SAW:
فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ . متفق عليه
فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ . متفق عليه
“Pada
tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq Alayh).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ
صَدَقَةٌ . متفق عليه
“Tidak
ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000
kilogram)’. (Muttafaq Alayh). Dari
kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali
yang sudah mencapai lima watsaq.
e.
Mentakhsish Al-Qur’an dengan Ijma’.
Contohnya:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
apabila
diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Al-Jum’ah:9).
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.
f.
Mentakhshish Al-Qur’an dengan qiyas. Misalnya:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.
(An-Nur:2). Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa’ ayat 25:
فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
Apabila
mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan
yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami. (An-Nisa’:25).
Ayat di
atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan
adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian
hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan,
yaitu lima puluh kali dera.
g.
Mentakhshish dengan pendapat sahabat.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa takhshish hadits dengan pendapat sahabat tidak
diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabt
itu yang meriwayatkan hadits yang ditakhshishnya. Misalnya:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ . متفق عليه .
“Barangsiapa
menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka bunuhlah
dia”. (Muttafaq Alayh).
Menurut
hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh.
Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang
murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja. Pendapat
di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad
juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umu hadits tersebut. Pendapat
sahabat yang mentakhshish keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang
menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadz-lafadz umum yang datang
dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal
berdasarkan dugaan sendiri.
C. MUTLAQ
1. Pengertian Mutlaq
Mutlaq menurut bahasa adalah lepas tidak terikat,sedangkan menurut ushul
fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa
dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya:
kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena
secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu
yang telah kita pahami, tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
Contoh yang berhubungan dengan kafarat dhihar :
Contoh yang berhubungan dengan kafarat dhihar :
Artinya:
“Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
hamba sahaya”(QS. Al-mujadalah:3)
Kata raqabah
(hamba sahaya) dalam ayat di atas mencakup budak secara keseluruhan (mutlak).
Cakupan kata ini tidak terbatas pada satu budak tertentu. Kata ini tidak pula
mensyaratkan agama budak tersebut. Jadi, bisa budak mukmin atau budak kafir.
2.Pengertian Muqayyad
Muqoyyad menurut bahasa adalah tidak terlepas yakni terikat,sedangkan
menurut ushul fiqih adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan
batasan kata tertentu. Misalnya: ungkapan meja menjadi “meja hijau”,
rumah menjadi “rumah sakit”,jalan menjadi “jalan raya”. Kata-kata rumah, jalan
dan meja ini sudah menjadi muqayyad karena menunjukan pada pengertian/makna
tertentu dan dikaitkan atau diikatkan dengan kata lain.
Contoh dalam al
qur’an misalnya kata raqabah yang telah dibatasi dengan kata mu’minah sehingga
menjadi “raqabah mu’minah” mengenai kifarat pembunuhan.
3. Bentuk-bentuk mutlaq dan muqayyad
Kaidah
lafazh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk yaitu
a.
Suatu lafazh di pakai dengan mutlak pada suatu
nash, sedangkan pada nash
lain digunakan dengan muqayyad
b.
Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada
hukum dan sebabnya
c.
Lafazh mutlaq dan muqayyad yang belaku pada
nash itu berbeda.
d.
Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukum
sedangkan sebab hukumnya
sama.
e.
Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi
berbeda dalam sebabnya
4. Hukum lafazh mutlaq dan muqayyad
a. Tidak
berbeda (sama) hukum dan sebabnya, dalam hal ini mutlaq harus dibawa kepada muqayyad,
artinya muqayyad menjadi penjelasan
terhadap mutlaq
b. Berbeda
hukum dan sebabnya dalam hal ini masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada
tempatnya sendiri muqayyad tidak menjadi penjelasan mutlak
c. Berbeda
hukum tetapi sebabnya sama, dalam hal ini masing-masing mutlaq dan muqqayad
tetap pada tempatnya sendiri
5. Hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan
muqayyad
a. Kemutalaqan
dan kemudayyan terhadap pada sebab hukum, namun masalah (Maudu) dan hukumnya
sama, menurut jumhur ulama dari kalangan syafi’iyah, malikiyah dan hanafiyah,
dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad, oleh sebab itu, mereka
tidak mewajibkan zakat fitnah kepada hamba sahaya, sedangkan ulama harfiyah
tidak membawa lafazh mutlaq pada muqayyad, oleh sebab itu ulama hanafiyah
mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
b.
Mutlaq
dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya namun sebabnya berbeda,
masalah ini juga di perselisihan, menurut ulama hanafiyah tidak boleh membawa
mutlaq pada muqayyad melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Lafadz ‘Am adalah lafadz yang bermakna umum,
terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu dan tidak terbatas
pengertiannya.
2.
Lafadz Khas adalah lafadz yang menunjukkan arti
tertentu, tidak meliputi arti umum.
3.
Takhshish adalah menjelaskan bagian-bagian di
dalam lafadz ‘am dengan dalil lain.
4.
Mutlaq ialah lafal-lafal yang menunjkkan kepada
pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan
5.
Muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukkan
atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan
B.Saran
Semoga makalah ini bisa menjadi penambah pengetahuan kita
yang lebih mendalam lagi, khususnya bagi temen-teman pembaca.
Dalam makalah ini masih banyak terapat kekurangan dan
kekhilafan, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang membangun untuk menjadi
rujukan kami dalam penulisan makalah berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mujamma’
Al-Malik Fahd li Thibaat al Mush-haf.1994. Al-qur’an
dan Terjemahannya, Madinah: al
Munawwarah
Jazuli,
A. 2000. Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: PT. Raja Grafido Persada
Rifa’,
Moh.1979. Ushul Fiqh, Jakarta: PT.Al-Ma’arif
Satria
Effendi, Prof.Dr.H, M.Zein.2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada
Media
Siswanto, Deding.1990.Ushul
Fiqih.Bandung: CV.Armico
Uman, Khairul dan Aminuddin, Ahyar.2001.Ushul Fiqih II. Bandung: PT.Pustaka
Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar