MAKALAH
Menganalisis Problem Pendidikan Umat Islam
Kontemporer( Problematika Pendidikan Islam) Pardigma Pendidikan Islam,
Paradigma Konservatif, Paradigma Kritis, Paradigma Islam Sebagai Alat Analisis
Konsep Pendidikan Islam
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Ilmu Pendididkan Islam
DOSEN PENGAMPU : Hj. Fatmawatie, S. Ag, M. Pd. I

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 12
FAHRUL ROZI
LUKMANUL HAKIM
SARTINAH
ZULHENTATI
PROGRAM :
STRATA SATU (S-1)
PROGRAM STUDI :
PAI
SEMESTER / LOKAL : III (Tiga) / E
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
T.A 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejatinya pendidikan anak adalah menjadi tugas dan tanggung jawab
orang tua, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. “bahwa seorang anak
dilahirkan dalam kondisi fitrah; orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani,
atau Majusi”. Namun, dalam prakteknya, entah itu
disebabkan oleh keterbatasan waktu dan tenaga, atau mungkin juga karena
kekurangan ilmu dan keahlian, saat ini hampir semua orang tua mengantar
anak-anak mereka ke sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya untuk
dididik, dibentuk kepribadiannya dan karakternya, dan dibekali dengan berbagai
ilmu pengetahuan agar kelak ketika dewasa akan menjadi manusia yang baik serta
memperoleh kehidupan yang layak. Akan tetapi seiring dengan revolusi informasi
dan teknologi yang berkembang pada terakhir ini, banya pihak yang mulai ragu
dengan kemampuan sekolah untuk mengemban tugas yang kami sebutkan di atas,
seiring dengan maraknya pelbagai persoalan moralitas yang melibatkan remaja
usia sekolah.
B.
Rumusan Masalah
Masalah-masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
b) Apa itu Paradigma
Pendidikan Islam?
c) Apa-apa
saja Macam-macam Paradigma Pendidikan
Islam?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan dalam pembuatan
makalah ini sebagai berikut:
a) Untuk
memenuhi tugas matakuliah Ilmu Pendidikan Islam dari dari Ibu dosen.
c) Untuk
mengetahui dan memahami Apa itu Paradigma Pendidikan Islam
d) Untuk
mengetahui dan memahami Apa-apa saja Macam-macam Paradigma Pendidikan Islam
.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Problematika Pendidikan Islam kontemporer
Problem yang dihadapi pendidikan Islam kontemporer adalah cukup banyak, jika dicermati secara jeli dan teliti. Tetapi secara umum dan mendasar ada lima hal yang akan penulis ungkapkan untuk mewakili dari berbagai problem yang mengkontaminasi atmosfir pendidikan Islam dewasa ini. Makalah ini berusaha menyorot problem-problem utama yang dihadapi pendiddikan Islam kontemporer yang antara lain meliputi :[1]
1. Dikotomi
Masalah besar yang dihadapi pendidikan Islam adalah dikotomi dalam beberapa aspek yaitu antara ilmu agama dan ilmu umum, wahyu dan akal. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Penyebabnya antara lain adalah :
· Peradaban umat Islam yang tidak biasa menyajikan Islam secra kaffah, yang mengakibatkan lahirnya pendidikan umat Islam yang sekularistik, rasionalistik dan materialistuik. Ini disebabkan oleh :pertama, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan cara bertauhid, kedua, kegagalan butir tersebut menyebabkan lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi "fikroh Islami". Dikotomi fikroh Islami inilah yang menimbulkan dikotomi proses pencapaian tujuan pendidikannya.
· Penyabab yang lain adalah diterimanya budaya Barat secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya. Mereka yang menganut faham tersebut berkeyakinan yang penting adalah kemajuan bukan agama dan oleh karena itu kajian budaya dibatasi dibidangnya.
2. Too general
knowledge
Kelemahan dunia pendidikan Islam berikutnya adalah sifat
ilmu yang pengetahuan yang masih terlalu general dan kurang memperhatikan
kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Dibeberapa Negara muslim,
khususnya bekas jajahan Prancis fakultas seni dan hukum menjadi fakultas yang
paling penting, fakulte des letters dn fakulte des droits mendominasi seantero
kampus. Para lulusan dari fakultas-fakultas tersebut mendapat ajaran ilmu yang
bersifat general, yang satu terlalu general dengan fungsi-fungsi praktis dan
yang lainnya dengan hafalan, tanpa memberikan perhatian terhadap usaha
pemecahan masalah (problem solving).
Sedangkan hal yang sangat perlu untuk ditegaskan adalah
bahwa konsep ilmu dalam tradisi Islam sangat berbeda dengan tradisi Barat.
Konsep ilmu Barat menekankan nilai penting ontology dan epistemologinya sebagai
pijakan, sedangkan konsep ilmu dalam Islam berangkat dari aksiologinya.
Perbedaan itu berkenaan dengan masalah teori sebagai tujuan dan metodologinya,
kaitannya dengan pengembangan ilmu, pendidikan Islam harus bisa membentuk manusia
yang berkepribadian mulia dan tidak hanya tahu dan biasa berperan sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga harus menghiasinya dengan
moral yang baik dan tinggi, dengan demikian system pendidikan Islam terkait
erat dengan nilai-nilai kebaikan yang menjadi tujuannya.
3. Memorisasi
Kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis
yang berlangsung selama berabad-abad tentunya terletak pada kenyataan bahwa
jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sangat sedikit, maka waktu yang
diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi siswa-siswa untuk dapat
menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang
aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.
Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual
dari pada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan
untuk belajar dengan system hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang
sebenarnya.
4. Lack of spirit
of inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi factor penghambat
kemajuan dunia pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan
penelitian. Syed al-Attas merujuk pada pernyataan al-Afghani menganggap
rendahnya "the Intelectual Spirit" menjadi salah satu factor terpenting
yang menyebabkan kemunduran Islam. Hal tersebut masih diperparah dengan
semangat untuk meneliti, rasa cinta untuk mencari ilmu, dan penghormatan
terhadap ilmu pengetahuan serta ilmu rasional tidak berkembang luas
dinegara-negara berkembang.
5. Certificate
Oriented
Hampir diseluruh universitas Islam adalah para mahasiswa
yang telah menyelesaikan studi dengan metode rote-learning dibekali dengan
sebuah sertifikat/ijazah tetapi bukan dengan "kualifikasi
substansial" yang dapat diterapkan atau dimnfaatkan dalam proses
pembangunan. Belajar oleh kebanyakan orang dianggap hanyalah alasan kebutuhan
perut (a bread winning ticket) atau tiket untuk masuk keposisi-posisi yang
lebih baik.
Pola yang dikembangkan pada masa-masa awal Islam adalah
thalabul ilmi telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari
ilmu, melakukan perjalanan jauh penuh resiko guna mencari kebenaran suatu ilmu.
Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa
awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented, sehingga tidak
mengherankan jika pada masa-masa itu banyak lahir tokoh-tokoh yang besar yang
memberikan kontribusi berharga.
Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada
sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecendrungan pergeseran dari knowledge
oriented menuju certificate oriented. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah
proses untuk mendapatkan sertifikat dan ijazah saja, sedangkan semangat dan
kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya. Jual beli gelar juga menjadi bahan
perbincangan yang cukup serius dikalangan akademisi yang terjadi di Indonesia
yang semakin menambah keterpurukan pendidikan Nasional di mata dunia.
Sementara itu problem-problem pendidikan pada saat ini yang
terjadi dikarenakan terdapat pada peserta didik yang melakukan
penyimpangan-penyimpangan. Secara psikologis pelajar usia remaja merupakan masa
transisi dari remaja menuju kedewasaan diamana didalamnya terjadi
gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sangat tinggi. Jika
lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan
cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk
negatif. Maka dari itu diharapkan Sarana pendidikan bukan hanya laboratorium,
perpustakaan, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana
olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka.
Perkembangan sikap konformitas pada
remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif bagi dirinya.
Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti atau diimitasi itu menampilkan sikap
dan perilaku yang secara moral agama dapat dipertanggungjawabkan, misalnya
kelompok yang taat agama, berbudi pekerti luhur, kreatif dalam mengembangkan
bakat, rajin belajar, aktif berorganisasi, maka kemungkinan besar remaja tersebut
akan menampilkan pribadi yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu
menampilkan sikap dan perilaku malsuai atau melecehkan nilai-nilai moral, maka
sangat dimungkinkan remaja akan menampilkan perilaku seperti kelompoknya itu.
Contohnya, tidak sedikit remaja yang mengidap narkotika dan seks bebas, karena
mereka bergaul dengan kelompok sebaya yang sudah biasa melakukan hal tersebut.
Sedangkan kehidupan remaja yang sudah
kemasukan arus globalisasi, yaitu, minum minuman keras, ikut-ikutan memakai narkoba,
bermain-main di klub malam yang dapat menerbitkan sifat erotis, dan melakukan
tindakan kekerasan yang menyimpang dari kepribadian Indonesia. Banyak sekali
fakta yang menunjukkan dampak penyimpangan pergaulan remaja khususnya para
pelajar, Berdasarkan survei 3 dari 10 pelajar di Indonesia pernah merokok
sebelum usia 10 tahun, 34,58 persen pelajar tingkat SLTA perokok aktif
dan survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan prevalensi penyalahgunaan
narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan
mahasiswa atau sekitar 921.695 orang.
Selain itu, berdasarkan survei Komnas Anak di 12 provinsi dengan
responden 4500 remaja tahun 2010 didapat hasil yang sangat mengejutkan.
Berdasarkan survei diketahui bahwa 97% remaja SMP dan SMA pernah melihat film
porno, 93,7 % pernah berciuman hingga petting (bercumbu), 62,7 % remaja SMP
sudah tidak perawan, dan 21,2 % remaja SMA pernah aborsi.
Selain pergaulan bebas, penyalahgunaan
narkoba juga menjadi dampak dari penyimpangan pergaulan pelajar. karena
berdasarkan hasil penelitian Badan Nasional Narkoba (BNN) dan pusat kesehatan
Universitas Indonesia (UI), selalu ada peningkatan pengguna narkoba di
Indonesia setiap tahunnya. Pada tahun 2004, pengguna narkoba di Indonesia
diperkirakan mencapai 3.2 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2008 pengguna narkoba
tersebut meningkat menjadi sekitar 3,6 juta jiwa. Dan pada tahun 2011
peningkatan tersu terjadi, dimana pengguna narkoba tersebut mencapai angka 3,8
juta jiwa. Sementara itu, dari sejumlah pengguna narkoba (berbagai jenis)
pelajar berada pada urutan ke 4 pengguna narkoba. Dengan urutan pertama
pengangguran, kedua pegawai, ketiga pedagang dan ke empatnya adalah pelajar.
Berdasarkan uraian di atas, sudah jelas bahwa kondisi pergaulan pelajar
khususnya di Indonesia saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Karena selain
dapat merusak moral para pelajar, perilaku yang disebabkan dari penyimpangan
pergaulan itu dapat merusak masa depan bahkan mengancam nyawa pelajar. Untuk
itu, hendaknya diberikan perhatian dan penangan yang penuh terhadap
perkembangan dan pergaulan pelajar agar terhindar dari pergaulan-pergaulan yang
dapat merugikan pelajar.
6.
Perubahan Kurikulum
Kurikulum
merupakan aturan dan cara yang di pakai oleh sebuah lembaga pendidikan dengan
tujuan untuk meniingkatkan mutu dari pada pendidikan atau lembaga pendidikan.
Kurikulum di katakan penting dalam sebuah pendidikan karna keberhasilan sebuah
pendidikan untuk dapat mencetak output atau di sebut dengan peserta didik yang
bermutu dan baik sangat di tentukan oleh kurikulum sebuah pendidikan. Kurikulum
pendidikan yang kurang tepat bagi siswa atau sekolah justru akan memberi
masalah masalah baru dalam dunia pendidikan, karna kurikulum baru belum tentu
sesuai dengan siswa atau dapat di terima siswa tersebut bahkan mungkin siswa ustru tidak siap dengan
sistem baru yang mungkin dapat menyusahkan mereka, lalu mengapa sistem
pendidikan di indonesia hampir sering di gonta ganti, mengapa sekolah atau
lembaga pendidikan tidak memfokuskan diri pada satu sistem atau kurikulum
supaya siswa dapat menyesuaikan dan menerima sistem tersebut dengan baik
Seperti
kita tahu saat ini bahwa kurikulum di indonesia sering di gonta ganti tanpa
memikirkan dengan serius apakah siswa dapat menerina dan beradapyasi dengan
sistem atau kurikulum yang baru tersebut. Kurikulum di indonesia sudah berganti
sekitar enam kali mulai dari kurikulum tahun 1984 yang kemudian di ganti dengan
kurikulum 1975 dan di perbaharui lagi dengan kurikulum 1984 sampai akhirnya
indonesia memakai kurikulum 2004 atau
sering di sebut dengan KTSP. Lalu apa sebenarnya maksut dan tujuan pemerintah
menganti kurikulum yang sudah di terapkan dengan kurikulum baru yang belum
tentu dapat beradaptasi dengan siswa atau peserta didik.
Tujuan
pemerintah mengganti kurikulum dalam pendidikan tidak lain adalah karna ingin
memperbaiki mutu pendidikan supaya bisa berkembang lebih baik dari sebelum nya.
Tapi apakah demikian. Pada kenyataan nya tidak ada perubahan mutu yang di
berikan oleh pendidikan di indonesian bahkan mutu pendidikan selama kurang
lebih dalam lima tahun ini memberikan hasil yang mengecewakan, justru perubahan
kurikulum pendidikan yang begitu cepat menimbulkan masalah masalah baru dalam
dunia pendidikan, seperti halnya banyak prestasi siswa ang menurun hal ini
mungkin di sebabkan karna siswa tidak dapat menyesuaikan diri dengan sistem
pembelajaran pada kurikulum yang baru. Lalu apakah pemerintah memikirkan masalah
yang demikian, saya rasa tidak pemerintah mungkin lebih berfikir dampak positif
yang hanya memudahkan sebagian pihak saja. Sebenarnya begitu banyak terhadap
mutu pendidikan tidak hanya karna pergantian kurikulum, tapi sejatinya
kurikulum merupakan dasar dari jalannya program pendidikan.
Dampak
dari kurikulum pendidikan yang bergonta ganti bukan hanya memberikan dampak
negatif terhadap siswa yang semakin merendah prestasi nya sebetulnya perubahan
ini juga dapat berdampak pada sekolah yaitu pada tujuan atau visi sebuah
sekolah juga akan ikut ikutan kacau. Contoh saja bila sebuah sekolah memiliki
satu tujuan atau sati visi tentu sekolah tersebut akan berusaha untuk mencapai
tujuan nya, dan untuk memenuhi sebuah visi tentu membutuhkan waktu yang tidak
singkat, ketika mereka telah memfokuskan diri pada visi yang telah di susun
secara tiba tiba kurikulum di ganti tentu sekolah tersebut harus mengganti
tujuan yang ingin di capai. Mungkin pemerintah merasa bahwa perubahan kurikulum
dapat memberi perubahan yang lebih baik pada mutu pendidikan, tapi nyata nya
tidak demikian
Lalu
bagaimana mutu pendidikan bisa lebih baik sesuai dengan tujuan perubahan
kurikulum. Di dalam sebuah lembaga pendidikan memiliki banyak aktor yang
semuanya berpengaruh pada mutu sebuah pendidikan seperti halnya kepala sekolah,
guru atau tenaga pengajar, siswa didik dan bahkan sebuah lembaga itu sendiri.
Untuk mendapatkan mutu pendidikan yang baik maka semua aktor dalam pendidikan
harus berfungsi dengan baik misalkan saja kepela sekolah. Kepala sekolah adalah
tombak keberhasilan sebuah sekolah di jelaskan dalam sebuah buku bahwa seorang
pemimpin adalah faktor penentu sebuah keberhasilah lembaga untuk memimpim
sekolah dengan baik seorang kepalah sekolah harus membina hubungan baik pula
dengan atasan nya seperti komite dan pemerintah kepala sekolah juga harus mampu
membina hubngan baik dengan bawahannya, dalam hal ini bawahan nya adalah
gurustaf dan siswa kepala sekolah harus mengenal baik sebagian besar bawahan
nya ntuk memahami mereka sehingga kepala sekolah mampu membuat keputusan yang
sekiranya dapat di terima oleh bawahannya, selain itu kepala sekolah harus
membina hubungan baik dengan lingkungan sekolah karna pada dasarnya sekolah dan
masyarakat memiliki hubungan saling menerima dan memberi. Aktor penting kedua
yaitu guru mutu sebuah pendidikan yang baik di wujutkan dengan output atau
siswa didik yang bermutu dan siswa didik yang bermutu adalah hasil usaha dari
guru yang profesional lalu bagaimana guru yang profesional. Guru profesional
bukan hanya guru yang memiliki sertifikasi bagus atau mungkin lulusan
universitas terbaik dengan ipk terbaik namun guru yang profesional adalah guru
yang dapat memberikan pelajaran dan dapat di terima oleh siswa dengan baik agar
sebuah pelajaran dari guru dapat di terima dengan baik maka seorang guru harus
memiliki habungan yang baik dengan siswa. Hubunngan baik yang di maksutkan di
sini adalah guru mampu memfasilitasi siswa yang ingin bertanya kepadanya tanpa
mempersulit siswa tersebut meskipun harus di luar kelas karna dengan hubungan
guru dan siswa bisa lebih luas bukan hanya sebatas lebar ruang kelas saja.
Faktor ke tiga yang juga penting dalam usaha peningkatan mutu pendidikan adalah
siswa atau peserta didik untuk memajukan sebuah mutu pendidikan sebuah sekolah
harus memiliki siswa yang bermutu dalah hal pelajaran atau yang lainnya, lalu
seperti apa siswa yang bermutu, siswa yang bermutu adalah siswa yang mampu
menerima pelajaran dengan baik, siwa yang mau belajar denga giat dan kritis
dalam setiam pelajaran yang dia ikuti hal ini dapat di wujudkan dengan banyak
bertanya kepada guru atau teman serta evaluatif terhadap mata pelajaran nya,
kemampuan siswa yang demikian tidak mungkin bisa tumbuh dengan begitu saja
tentu disini harus ada peran sekolah untuk menjadikan siswa didik seperti
demikian seperti hal nya dengan mengadakan ekstrakulikuler yang mendukung
prestasi siswa dalam kelas. selain tiga faktor penting dalam pendidikan faktor
lain juga sangat mempengarui peningkatan mutu sebuah pendidikan yaitu fasilitas
sekolah yang memadai, tentu hal ini juga sangat penting jika sebuah sekolah
minim dengan fasilitas pendidikan lalu bagaimana siswa dapat belajar dengan
maksimal, fasilitas sekolah yang di maksutkan di sini seperti laboltorium
sekolah yang lengkap dan nyaman untuk pembelajaran, perpustakaan yang lengkap
dengan buku buku yang menarik untuk di baca dan didiskusikan, serta ruang kelas
yang mampu memberi kenyamanan siswa untuk betah belajar dan berlama lama di
dalam kelas mereka bukan ruang kelas yang panas dan sesak. Seharusnya
pemerintah memikirkan hal hal tersebut sebelum mengganti kurikulum dalam
pendidikan.
Lalu
apakan kurikulum yang di pakai di indonesia saat ini yaitu KTSP sudah tepat dan
memenuhi faktor faktor yang penting untuk meningkatkan mutu sebuah pendidikan.
Dalam buku penerapan KTSP dan implementasinya di jelaskan KTSP adalah sebuah
kurikulum yang di mana guru memiliki peran sebagai motifator dan fasilitator
siswa dalam rangka meningkatkan prestasi nya dan dalam kurikulum ini siswa
memiliki hak penuh untuk meningkatkan bakat dan prestasi nya serta siswa harus
mampu bersaing dengan siswa lainnya untuk mendapat prestasi yang bagus. Jika
seperti ini apakah ini bukan berarti memudahkan guru, bagaimana tidak jika guru
hanya berperan sebagai fasilitator dan motiifator berati guru tidak di tuntut
menguasai materi yang ada karna dalam kurikulum ini tidak ada fungsi guru untuk
meberi materi, guru hanya berperan untuk motifator saja, berati apakah guru
tidak harus mengajar dan memberi pengetahuan bagi siswa. Lalu apakah ini adil
untuk siswa sistem yang di terapkan untuk siswa adalah siwa harus belajar
sendiri karna di dalam kelas guru hanya memberikan informasi yang minim dan
selebih nya guru hanya membri motivasi dan dorongan untuk siswa supaya mau
belajar dan belajar kemudian siswa di harapkan dapat mencari tambahan materi
dan memperkaya informasi secara mandiri. Di nilai dari segi positif nya memang
bagus karna dengan demikian siswa tentu akan mengulang kembali pelajaran yang
di dapatnya dari sekolah dan siswa akan berusaha untuk mendapat informasi yang
selengkap mungkin mungkin karna sistem seperti ini siswa yang awalnya malas
untuk membaca dan bertannya menjadi siswa yang rajin dan aktif. Ini tepat untuk
siswa yang memiliki modal untuk melakukan semuanya seperti memiliki fasilitas
internet untuk mencari informasi atau memiliki buku untuk di baca dan di
jadikan refrensi, lalu bagai mana dengan siswa yang minim akses atau mungkin
memiliki kepentingan lain di luar jam sekolah seperti membantu orang tuanya untuk
mencari tambahan biaya sekolah dan sebagainya atau bahkan tidak munafik bagai
mana dengan siswa yang masih belum bisa beradaptasi dengan kurikulum baru dan
belum memiliki sifat rajin dan evaluatif apakah hal ini tidak justru mematikan
mereka karna mereka akan semakin bodoh jika di berikan sistem pendidikan
seperti demikian.
Tentu
hal ini akan membuat hasil yang di peroleh oleh masing masing siswa akan
berbeda dalam sistem yang demikian maka akan di temukan siswa yang sangat
pandai dan siswa yang mungkin sangan bodoh atau tertinggal banyak pelajaran
karna minimnya akses untuk mencari tambahan materi. Jika seperti ini apakah
pendidikan tak ubahnya dengan sebuah permainan lotre semua siswa harus membayar
dengan harga yang sama namun karna kurikulum yang tidak dapat beradaptasi dan
di terima oleh sebagaian pihak maka belum tentu mereka akan mendapatkan hasil
pendidikan yang sama. Seharusnya pendidikan atau kurikulum pendidikan
memberikan fasilitas penuh kepada siswa untuk bisa mendapat hak yang sama dalam
pendidikan dan sebaiknya gurupun menggunakan fungsi nya untuk mampu memberikan
fasilitator dan motifator kepada siswa untuk berprestasi dengan memberikan
kesempatan dan hak yang sama antara satu siswa dengan siswa yang lain.
Jika
kurikulum yang baru tidak efekti ataukurang efektif untuk meningkatkan prestasi
siswa secara keseluruhan mengapa pemerintah masih saja suka untuk mengganti
kurikulum dalam pendidikan. Mengapa tidak mengadapasikan kurikulum yang lama
secara serius sampai dapat di terima oleh dunia pendidikan bukan dengan cara
tidak cocok ganti seperti demikian. Padahal belum tentu juga kalau yang baru
akan sesuai dan dapat beradaptasi cepat dengan siswa serta dapat di terima
sebagai tujuan pendidikan yang tepat dan dapat meningkatkan mutu pendidikan saat
ini
Dalam
menentukan kurikulum dan membuat kurikulum baru supaya dapat di terima oleh
siswa bagaimana seharusnya langkah yang harus di lakukan oleh pemerintah?
Seharusnya pemerintah memakai konsep teori AGIL dalam sebuah perencanaan
kurikulum baru. Lalu bagaimana AGIL di terapkan dalam perncanaan kurikulum
baru. Pertama A atau yang kita tahu adalah adaptasi. Yaitu bagaimana sistem
dari kurikulum tersebut dapat beradaptasi dengan siswa untuk dapat beradaptasi
sistem yang baru harus di sesuaikan dengan kondisi siswa pada umum nya bukan
hanya memikirkan siswa yang bersikap positif atau dalam hal ini rajin untuk
belajar tapi juga harus memperhatikan siswa yang masih belum bisa rajin yaitu
dengan memikirkan cara bagaimana membuat siswa yang masih belum rajin tersebut
menjadi rajin seperti dengan adanya fasilitas fasilitas yang mampu menarik
perhatian siswa tersebut karna sejatinya tidak mungkin ada anak yang benar
banar malas untuk melakukan hal apapun pasti dia memiliki satu hobi atau satu
kesukaan yang dapat membuatnya untuk tidak malas. Jika di ras kurikulum
tersebut dapat sesuai dan dapat di adaptasikan dengan keadaan siswa saat ini
maka kurikulum tersebut dapat di terapkan oleh pemerintah dalam sebuah lembaga
pendidikan dan tentu kemungkinan besar kurikulum yang dapat beradaptasi cepat
dengan siswa akan di terima dan memberikan peningkatan mutu dalam pendidikan.
Konsep yang ke dua yaitu G yaitu Goal atau yang biasa kita kenal dengan tujuan.
Dimana sebuah sistem dalam kurikulum pendidikan harus memiliki tujuan yang
jelas dan memastikan bahwa tujuan tersebut dapat di capai bukan hanya anggan
anggan serta tujuan harus sejalan dengan tujuan pendidikan pada dasarnya yaitu
untuk memajukan mutu pendidikan dengan memperbaiki output atau siswa, untuk
memperbaiki output tentu harus menyesuaikan dengan masing masing siswa tidak
mungkin satu siswa dengan siswa yang lain memiliki kemampuan berfikir dan
bekerja yang sama dalam hal ini untuk mecapai tujuan tersebut sistem harus
mampu memfasilitasi masing masing kemampuan berfikir dari masing masing siswa
misalkan saja ada siswa yang hanya dengan membaca dia mampu untuk bersaing
bengan siswa lain maka sistem harus mau menyediakan fasilitas yang mendukung
siswa tersebut untuk membaca adapula yang memiliki kemampuan di bidang olahraga
dan seni maka sistempun harus mendukung fasilitas untuk siswa tersebut
mengembangkan bakat nya, jadi dapat di ambil kesimpulan tidak hanya tujuan yang
jelas. Tapi seberapa kemampuan pemerintah untuk mencapai tujuan dari kurikulum
baru yang di buat nya maka pemerintah harusnya tidak sekadar merubah kurikulum
tapi juga harus mampu mendanai untuk proses pencapaian tujuan dari kurikulum
tersebut. Kemudian yang ke tiga adalah I yaitu integrasi di mana sistem dari
kurikulum yang baru harus mampu mengintegrasi aktor aktor dalam pendidikan yang
meliputi guru, lembaga dan siswa dalam rangka proses untuk mencapai tujuan yang
telah di tentukan. Kemudia yang ke empat adalah L yaitu latensi. Bagaimana
tujuan dalam sebuah pendidikan dapat menjaga nilai nilai dalam masyarakat dan
tidak terselubung fungsi fungsi laten dalam lembaga.
Jadi
untuk menyusun kurikulum yang tepat dan baik dapat menggunakan konsep AGIL
sehingga sistem dalam kurikulum yang baru dapat di terima oleh siswa dan guru
serta dapat di jalankan dengan bail oleh lembaga pendidikan untuk mencapai
yujuan yang di inginkan bersama.
B. Paradigma Pendidikan Islam
Paradigma adalah
kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak
pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita
dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat
penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia.
Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan
mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang memanusiakan. Pandangan bahwa
pendidikan sebagai kegiatan yang sangat sakral dan mulia telah lama diyakini
oleh manusia. Namun di dekade 70-an dua orang tokoh pendidikan, yaitu Paulo
Freire dan Ivan Illich melontarkan kritik yang sangat mendasar tentang asumsi
tersebut. Mereka menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini
disakralkan dan diyakini mengandung nilai-nilai kebajikan tersebut ternyata
mengandung penindasan.[2]
Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam terdapat
beberapa hal yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan menempatkan
dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang
paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre intelektual
senantiasa dilandasi oleh :
1) Menempatkan kembali
seluruh aktifatas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh
aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana
tujuan akhir dari seluruh aktifitas adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo
Allah swt.
2) Adanya perimbangan
antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum
pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan
adalah kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada pengembangan ilmu
non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu,
penyeimbangan antara materi agama dan non agama dalam dunia Islam adalah sebuah
keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah
masyarakat.
3) Perlu diberikan kebebasan
kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.
Karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah
terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya
wilayah pengembangan intelektual.
4) Mulai mencoba
melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang
dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses
pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu materi-materi yang diberikan juga
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi
dapat diaplikasikan dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada.
5) Adanya perhatian
dan dukungan dari para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan
pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan dari
pemerintah akan mempercepat penemuan kembali peradigma pendidikan Islam yang
aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali
mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.
Dan
juga untuk Mengatasi Penyimpangan
Pergaulan Pelajar Keluarga merupakan institusi yang utama
dan pokok dalam masalah pendidikan karena keluarga merupakan tempat dimana
seseorang melakuan yang seharusnya dilakukan, dengan keluarga maka seseorang
dapat mengenal apa yang belum pernah didengar. Moral bukanlah suatu pelajaran
yang dicapai dengan mempelajari saja, tanpa pembinaan dalam kesehariaan dalam
hidup bermoral sejak dini.
Menurut Nalland (1998) ada beberapa sikap yang harus
dimiliki orangtua terhadap anaknya pada saat memasuki usia remaja, yakni :
·
Orang tua perlu
lebih fleksibel dalam bertindak dan berbicara.
·
Kemandirian anak
diajarkan secara bertahap dengan mempertimbangkan dan melindungi mereka dari
resiko yang mungkin terjadi karena cara berfikir yang belum matang. Kebebasan
yang dilakukan remaja terlalu dini akan memudahkan remaja terperangkap dalam
pergaulan buruk, obat-obatan terlarang, aktifitas seksual yang tidak
bertanggung jawab dll
·
Remaja perlu diberi
kesempatan melakukan eksplorasi positif yang memungkinkan mereka mendapat
pengalaman dan teman baru, mempelajari berbagai keterampilan yang sulit dan
memperoleh pengalaman yang memberikan tantangan agar mereka dapat berkembang
dalam berbagai aspek kepribadiannya.
·
Sikap orang tua
yang tepat adalah sikap yang authoritative, yaitu dapat bersikap hangat,
menerima, memberikan aturan dan norma serta nilai-nilai secara jelas dan
bijaksana. Menyediakan waktu untuk mendengar, menjelaskan, berunding dan bisa
memberikan dukungan pada pendapat anak yang benar.
·
Selain itu
peranan sekolah sangatlah membantu dalam membentuk karakter anak karena dengan
adanya sekolah maka pendidikan yang tidak dapat di rumah akan mereka
dapatkan di dalam sekolah. Sekolah mempunyai fungsi sebagai pembina dan
pendidikan moral. Sekolah hendaknya mengusahakan lapangan bagi tercapainya
pertumbuhan pengembangan mental dan moral pesertadidik. Dengan demikian sekolah
merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral, dan
sosial serta segala aspek kepribadiaan dapat berjalan dengan baik. Dalam sebuah
sekolahan harus mempunyai metode dan strategi yang efektif dalam pelaksanaannya
selain itu pendidikan agama hendaknya dilakukan secara intensif
berkesinambungan, baik dalam kelas maupun di luar kelas.
Menurut Pidarta (2007:170), sejak dini anak-anak perlu
dididik berpikir kritis. Kemampuan untuk mempertimbangkan secara bebas
dikembangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberi kesempatan mengamati,
melaksanakan, menghayati dan menilai kebudayaan itu. Cara ini membuat anak
tidak menerima begitu saja suatu kebudayaan melainkan melalui pemahaman dan
perasaan dikala berada dalam kandungan budaya itu, yang akhirnya menimbulkan
penilaian menerima, merevisi, atau menolak budaya itu. Pendidikan seperti ini
membuat anak-anak terbiasa dengan pemikiran yang terbuka dan lentur. Dibutuhkan
strategi yang benar-benar bagus dalam mewujudkan pendidikan moral yang efektif
dan aplikatif. Beberapa diantaranya adalah:
·
Pendidikan dapat
di lakukan dengan memantapkan pelaksanan pendidikan agama.
·
Pendidikan agama
harus dirubah dari metode pengajaran menjadi pendidikan agama agar dapat belajar
sopan santun.
·
Pendidikan moral
harus dilaksanakan secara integraed, yaitu dengan melibatkan semua pihak yang
bersangkutan baik keluarga, sekolahan, masyarakat agar kemrosotan moral dapat
di minimalisir keberadaannya.
Adapun peran masyarakat yang dapat
membantu mengatasi problematika pergaulan pelajar yang terjadi saat ini salah
satunya yaitu dengan mengadakan penyuluhan mengenai dampak yang akan
ditimbulkan jika para pelajar terjerumus pada pergaulan yang menyimpang seperti
menggunakan obat-obatan terlarang, minum-minuman keras sampai pada pergaulan
bebas.
C.
Macam-macam Paradigma Pendidikan
Islam
Henry Giroux
dan Arronnawitz membagi paradigma pendidikan ke dalam tiga aliran utama, yaitu
:
a.
Paradigma konservatif
Yaitu paradigma pendidikan yang lebih
berorientasi pada pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta
tradisi. Paradigma pendidikan konservatif sangat mengidealkan masa silam (past
oriented) sebagai patron ideal dalam pendidikan. Paradigma konservatif
melahirkan jenis kesadaran sebagaimana yang disebutkan oleh Paulo Freire,
sebagai kesadaran magis. Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan
antara satu faktor dengan faktor lainnya sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran
magis lebih melihat faktor diluar kesadaran manusia sebagai penyebab dari
segala kejadian.[3]
Bagi kaum konservatif,
ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal
yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau
bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan,
karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam
bentuknya yang klasik atau awal paradigma konservatif dibangun berdasarkan
keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau
mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan
masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan
seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan
atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Namun dalam perjalanan
selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya.
b.
Paradigma pendidikan kritis
Yaitu paradigma pendidikan yang
menganut bahwa pendidikan adalah diorientasikan pada refleksi kritis terhadap
sistem dan struktur sosial yang menyebabkan terjadinya berbagai ketimpangan.
Paradigma pendidikan kritis mengarahkan peserta didik pada kesadaran kritis,
yaitu jenis kesadaran yang melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks
dan saling terkait satu sama lain. Paradigma pendidikan sangat berimplikasi
terhadap pendekatan dan metodologi pendidikan dan pengajaran. Salah satu bentuk
implikasi tersebut adalah perbedaan bentuk dalam pola belajar mengajar antara
pola paedagogy dengan pola andragogy.
Bagi Freire, selaku tokoh penggagas
pendidikan kritis. Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas
diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan akan realitas bagi Freire tidak
hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya secara
sinergis. Objektivitas dan subjektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal
yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian
psikologis, kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah dua fungsi
dialektis yang konstan/tetap dalam diri manusia. Oleh karena itulah menurut
Freire, pendidikan harus tampil metode yang mengarahkan manusia pada perwujudan
kesadaran subjektif yang kritis dan pemahaman akan realitas yang objektif dan
akan mengantarkan manusia pada suatu kesadaran kritis yang konstruktif dalam membangun
dunianya ke arah yang lebih konstruktif.
Dalam pelaksanaan pendidikan sebagai
proses timbal balik antara pendidik dengan anak didik melibatkan faktor-faktor
pendidikan guna mencapai tujuan tujuan pendidikan dengan didasari nilai-nilai
tertentu. Nilai-nilai tertentu itulah kemudian disebut sebagai dasar paradigma
pendidikan. Istilah dasar paradigma pendidikan dimaksudkan sebagai landasan
tempat berpijak atau pondasi berdirinya suatu sistem pendidikan.
Dasar paradigma pendidikan Islam
identik dengan dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama
yaitu Al-quran dan al-Hadis. Dari kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah
pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di
antaranya masalah pendidikan Islam. (Muhaimin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep
dan pemikirannya). Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah
rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip,
teori, dan teknik pendidikan Islam.
c.
Paradigma islam sebagai alat
analisis konsep pendidikan islam
Sutari Imam Barnadib berpendapat bahwa alat
pendidikan adalah “suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang
dengan tindakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan”. Sementara Ahmad D.
Marimba mendefinisikannya sebagai “segala sesuatu atau apa yang dipergunakan
dalam usaha mencapai tujuan.” Ramayulis mengatakan bahwa dari beberapa
literatur tidak terdapat perbedaan antara alat dengan media pendidikan. Oleh
karenanya, ia tidak membedakan antara alat dengan media. Zakiah Daradjat juga
tidak membedakan antara alat dengan media. Menurutnya, media atau alat
pendidikan meliputi segala sesuatu yang dapat membantu proses pencapaian tujuan
pendidikan.[4]
Dari pengertian yang dikemukakan di atas,
dapat dipahami bahwa alat juga merupakan komponen penting dalam pendidikan.
Dengan alat tersebut, tujuan pendidikan akan mudah untuk dicapai.
Alat pendidikan memiliki peranan penting dalam
proses
pendidikan dalam mencapai satu
tujuan. Menurut Yusuf Hadi Miarso, dkk, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis
bahwa alat/media pendidikan itu mempunyai nilai-nilai praktis yang berupa
kemampuan antara lain:
1) membuat konkrit konsep yang
abstrak.
2) membawa obyek yang sukar didapat ke dalam
lingkungan belajar siswa.
3) menampilkan obyek yang terlalu besar.
4) menampilkan obyek yang tak dapat
diamati dengan mata telanjang.
5) mengamati gerakan yang teralu cepat
Mengenai pentingnya alat ini, Ali Jumbulati
juga menyatakan bahwa dalam pekerjaan mengajar, alat-alat peraga merupakan
sarana pembuka cakrawala yang lebih luas, yang berlawanan dengan kebiasaan
merumuskan kalimat-kalimat yang ditulis atau diucapkan.
Adapun fungsi alat pendidikan, D. Ahmad
Marimba menyebutkan setidaknya ada tiga fungsi alat pendidikan, yaitu sebagai
perlengkapan, sebagai pembantu mempermudah usa mencapai tujuan, dan sebagai
tujuan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, seperti tujuan mempelajari
bahasa Arab untuk mengetahui isi al-Qur’an. Dengan demikian, alat pendidikan
sangat membantu terwujudnya tujuan pendidikan. Oleh karena itu, Syaiful Bahri
Djamarah dan Aswan Zain menyebut media sebagai alat bantu sekaligus sumber
belajar.
Adapun jenis dari alat tersebut, tidak saja
berupa benda (material) tetapi juga yang bukan benda (non materi). Menurut
Zakiah Dardjat, alat berupa benda ini meliputi: pertama, media tulis atau cetak
seperti al-Qur’an, hadis, tauhid, fiqh, sejarah, dan sebagainya; kedua,
benda-benda alam seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, zat padat, zat cair,
zat gas, dan sebagainya; ketiga, gambar-gambar, lukisan, diagram, peta dan
grafik. Alat ini dapat dibuat dalam ukuran besar dan dapat pula dipakai dalam
buku-buku teks atau bahan bacaan lain; keempat, gambar yang dapat diproyeksi,
baik dengan alat atau tanpa suara seperti foto, slide, film strip, televisi,
video, dan sebagainya; dan kelima, audio recording (alat untuk didengar)
seperti karet tape, radio, piringan hitam, dan lain-lain yang semuanya diwarnai
dengan ajaran agama.
Adapun alat yang berupa non-benda, dapat
berupa keteladanan, perintah/larangan, ganjaran dan hukuman, dan sebagainya.
Jadi, alat berupa non-benda ini tampaknya sama dengan metode. Hal ini dapat
diterima mengingat bahwa metode juga dapat disebtu sebagai alat pendidikan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
Dari pembagian alat pendidikan di atas dapat
disimpulkan bahwa alat pendidikan tersebut amat luas
cakupannya seperti TV, LCD,
komputer, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Makalah ini berusaha menyorot problem-problem utama yang dihadapi pendiddikan Islam kontemporer yang antara lain meliputi :
a) Dikotomi
b) Too general knowledge
c) Memorisasi
d) Lack of spirit of inquiry
e) Certificate Oriented
Paradigma
adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik
tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai
realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita
itu.
Henry Giroux
dan Arronnawitz membagi paradigma pendidikan ke dalam tiga aliran utama, yaitu
:
a. Paradigma konservatif
b. Paradigma pendidikan kritis
c. Paradigma islam sebagai alat
analisis konsep pendidikan islam
B.
Saran
Semoga makalah ini memberikan
mamfaat dalam dunia pendidikan islam. Dan kami dari penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan
isi makalah masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan baik dari segi kata
bahasa dan kalimat, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anam, M. Khoirul, Melacak Paradigma
Pendidikan Islam. Gema Insani, Jakarta: 2002
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam,
Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006.
Beni Ahmad Saebani, Hendra
Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Bandung : Pustaka Setia,
2009),
[3]Beni
Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, (
Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm 36
boleh tau dimana nyari sumbernya mbak? saya juga mahasiswi stai, bingung mau cari bukunya.
BalasHapusterimakasih