Jumat, 26 Desember 2014

menganalisis problem pendidikan kontemporer



MAKALAH
Menganalisis Problem Pendidikan Umat Islam Kontemporer( Problematika Pendidikan Islam) Pardigma Pendidikan Islam, Paradigma Konservatif, Paradigma Kritis, Paradigma Islam Sebagai Alat Analisis Konsep Pendidikan Islam
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ilmu Pendididkan Islam
DOSEN PENGAMPU : Hj. Fatmawatie, S. Ag, M. Pd. I




DISUSUN OLEH: KELOMPOK 12
FAHRUL ROZI
LUKMANUL HAKIM
SARTINAH
ZULHENTATI

PROGRAM                              :  STRATA SATU (S-1)
PROGRAM STUDI                 :  PAI
SEMESTER / LOKAL             :  III (Tiga) /  E


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
T.A 2014






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
          Sejatinya pendidikan anak adalah menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. “bahwa seorang anak dilahirkan dalam kondisi fitrah; orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.  Namun, dalam prakteknya, entah itu disebabkan oleh keterbatasan waktu dan tenaga, atau mungkin juga karena kekurangan ilmu dan keahlian, saat ini hampir semua orang tua mengantar anak-anak mereka ke sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya untuk dididik, dibentuk kepribadiannya dan karakternya, dan dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan agar kelak ketika dewasa akan menjadi manusia yang baik serta memperoleh kehidupan yang layak. Akan tetapi seiring dengan revolusi informasi dan teknologi yang berkembang pada terakhir ini, banya pihak yang mulai ragu dengan kemampuan sekolah untuk mengemban tugas yang kami sebutkan di atas, seiring dengan maraknya pelbagai persoalan moralitas yang melibatkan remaja usia sekolah.
B.     Rumusan Masalah
          Masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
b)      Apa itu Paradigma Pendidikan Islam?
c)      Apa-apa saja Macam-macam Paradigma Pendidikan Islam?
C.    Tujuan Penulisan
          Tujuan Penulisan dalam pembuatan makalah ini sebagai berikut:
a)      Untuk memenuhi tugas matakuliah Ilmu Pendidikan Islam dari dari Ibu dosen.
b)      Untuk mengetahui dan memahami Apa itu Problematika Pendidikan Islam kontemporer
c)      Untuk mengetahui dan memahami Apa itu Paradigma Pendidikan Islam
d)     Untuk mengetahui dan memahami Apa-apa saja Macam-macam Paradigma Pendidikan Islam .
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Problematika Pendidikan Islam kontemporer

          Problem yang dihadapi pendidikan Islam kontemporer adalah cukup banyak, jika dicermati secara jeli dan teliti. Tetapi secara umum dan mendasar ada lima hal yang akan penulis ungkapkan untuk mewakili dari berbagai problem yang mengkontaminasi atmosfir pendidikan Islam dewasa ini. Makalah ini berusaha menyorot problem-problem utama yang dihadapi pendiddikan Islam kontemporer yang antara lain meliputi :[1]

1.      Dikotomi

          Masalah besar yang dihadapi pendidikan Islam adalah dikotomi dalam beberapa aspek yaitu antara ilmu agama dan ilmu umum, wahyu dan akal. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Penyebabnya antara lain adalah :

·         Peradaban umat Islam yang tidak biasa menyajikan Islam secra kaffah, yang mengakibatkan lahirnya pendidikan umat Islam yang sekularistik, rasionalistik dan materialistuik. Ini disebabkan oleh :pertama, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan cara bertauhid, kedua, kegagalan butir tersebut menyebabkan lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi "fikroh Islami". Dikotomi fikroh Islami inilah yang menimbulkan dikotomi proses pencapaian tujuan pendidikannya.

·         Penyabab yang lain adalah diterimanya budaya Barat secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya. Mereka yang menganut faham tersebut berkeyakinan yang penting adalah kemajuan bukan agama dan oleh karena itu kajian budaya dibatasi dibidangnya.



2.      Too general knowledge
          Kelemahan dunia pendidikan Islam berikutnya adalah sifat ilmu yang pengetahuan yang masih terlalu general dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Dibeberapa Negara muslim, khususnya bekas jajahan Prancis fakultas seni dan hukum menjadi fakultas yang paling penting, fakulte des letters dn fakulte des droits mendominasi seantero kampus. Para lulusan dari fakultas-fakultas tersebut mendapat ajaran ilmu yang bersifat general, yang satu terlalu general dengan fungsi-fungsi praktis dan yang lainnya dengan hafalan, tanpa memberikan perhatian terhadap usaha pemecahan masalah (problem solving).
          Sedangkan hal yang sangat perlu untuk ditegaskan adalah bahwa konsep ilmu dalam tradisi Islam sangat berbeda dengan tradisi Barat. Konsep ilmu Barat menekankan nilai penting ontology dan epistemologinya sebagai pijakan, sedangkan konsep ilmu dalam Islam berangkat dari aksiologinya. Perbedaan itu berkenaan dengan masalah teori sebagai tujuan dan metodologinya, kaitannya dengan pengembangan ilmu, pendidikan Islam harus bisa membentuk manusia yang berkepribadian mulia dan tidak hanya tahu dan biasa berperan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga harus menghiasinya dengan moral yang baik dan tinggi, dengan demikian system pendidikan Islam terkait erat dengan nilai-nilai kebaikan yang menjadi tujuannya. 
3.      Memorisasi
          Kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentunya terletak pada kenyataan bahwa jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sangat sedikit, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi siswa-siswa untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual dari pada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan system hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. 
4.      Lack of spirit of inquiry
          Persoalan besar lainnya yang menjadi factor penghambat kemajuan dunia pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian. Syed al-Attas merujuk pada pernyataan al-Afghani menganggap rendahnya "the Intelectual Spirit" menjadi salah satu factor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam. Hal tersebut masih diperparah dengan semangat untuk meneliti, rasa cinta untuk mencari ilmu, dan penghormatan terhadap ilmu pengetahuan serta ilmu rasional tidak berkembang luas dinegara-negara berkembang.
5.      Certificate Oriented
          Hampir diseluruh universitas Islam adalah para mahasiswa yang telah menyelesaikan studi dengan metode rote-learning dibekali dengan sebuah sertifikat/ijazah tetapi bukan dengan "kualifikasi substansial" yang dapat diterapkan atau dimnfaatkan dalam proses pembangunan. Belajar oleh kebanyakan orang dianggap hanyalah alasan kebutuhan perut (a bread winning ticket) atau tiket untuk masuk keposisi-posisi yang lebih baik.
          Pola yang dikembangkan pada masa-masa awal Islam adalah thalabul ilmi telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh penuh resiko guna mencari kebenaran suatu ilmu. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented, sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu banyak lahir tokoh-tokoh yang besar yang memberikan kontribusi berharga.
          Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecendrungan pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat dan ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya. Jual beli gelar juga menjadi bahan perbincangan yang cukup serius dikalangan akademisi yang terjadi di Indonesia yang semakin menambah keterpurukan pendidikan Nasional di mata dunia.
          Sementara itu problem-problem pendidikan pada saat ini yang terjadi dikarenakan terdapat pada peserta didik yang melakukan penyimpangan-penyimpangan. Secara psikologis pelajar usia remaja merupakan masa transisi dari remaja menuju kedewasaan diamana didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sangat tinggi. Jika lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk negatif. Maka dari itu diharapkan Sarana pendidikan bukan hanya laboratorium, perpustakaan,  ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka.
          Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif bagi dirinya. Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti atau diimitasi itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral agama dapat dipertanggungjawabkan, misalnya kelompok yang taat agama, berbudi pekerti luhur, kreatif dalam mengembangkan bakat, rajin belajar, aktif berorganisasi, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan menampilkan pribadi yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan perilaku malsuai atau melecehkan nilai-nilai moral, maka sangat dimungkinkan remaja akan menampilkan perilaku seperti kelompoknya itu. Contohnya, tidak sedikit remaja yang mengidap narkotika dan seks bebas, karena mereka bergaul dengan kelompok sebaya yang sudah biasa melakukan hal tersebut.
          Sedangkan kehidupan remaja yang sudah kemasukan arus globalisasi, yaitu, minum minuman keras, ikut-ikutan memakai narkoba, bermain-main di klub malam yang dapat menerbitkan sifat erotis, dan melakukan tindakan kekerasan yang menyimpang dari kepribadian Indonesia. Banyak sekali fakta yang menunjukkan dampak penyimpangan pergaulan remaja khususnya para pelajar, Berdasarkan survei 3 dari 10 pelajar di Indonesia pernah merokok sebelum usia 10 tahun, 34,58 persen pelajar tingkat SLTA  perokok aktif dan survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar 921.695 orang.  Selain itu, berdasarkan survei Komnas Anak di 12 provinsi dengan responden 4500 remaja tahun 2010 didapat hasil yang sangat mengejutkan. Berdasarkan survei diketahui bahwa 97% remaja SMP dan SMA pernah melihat film porno, 93,7 % pernah berciuman hingga petting (bercumbu), 62,7 % remaja SMP sudah tidak perawan, dan 21,2 % remaja SMA pernah aborsi.
          Selain pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba juga menjadi dampak  dari penyimpangan pergaulan pelajar. karena berdasarkan hasil penelitian Badan Nasional Narkoba (BNN) dan pusat kesehatan Universitas Indonesia (UI), selalu ada peningkatan pengguna narkoba  di Indonesia setiap tahunnya. Pada tahun 2004, pengguna narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai 3.2 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2008 pengguna narkoba tersebut meningkat menjadi sekitar 3,6 juta jiwa. Dan pada tahun 2011 peningkatan tersu terjadi, dimana pengguna narkoba tersebut mencapai angka 3,8 juta jiwa. Sementara itu, dari sejumlah pengguna narkoba (berbagai jenis) pelajar berada pada urutan ke 4 pengguna narkoba. Dengan urutan pertama pengangguran, kedua pegawai, ketiga pedagang dan ke empatnya adalah pelajar.  Berdasarkan uraian di atas, sudah jelas bahwa kondisi pergaulan pelajar khususnya di Indonesia saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Karena selain dapat merusak moral para pelajar, perilaku yang disebabkan dari penyimpangan pergaulan itu dapat merusak masa depan bahkan mengancam nyawa pelajar. Untuk itu, hendaknya diberikan perhatian dan penangan yang penuh terhadap perkembangan dan pergaulan pelajar agar terhindar dari pergaulan-pergaulan yang dapat merugikan pelajar.
6.      Perubahan Kurikulum
           Kurikulum merupakan aturan dan cara yang di pakai oleh sebuah lembaga pendidikan dengan tujuan untuk meniingkatkan mutu dari pada pendidikan atau lembaga pendidikan. Kurikulum di katakan penting dalam sebuah pendidikan karna keberhasilan sebuah pendidikan untuk dapat mencetak output atau di sebut dengan peserta didik yang bermutu dan baik sangat di tentukan oleh kurikulum sebuah pendidikan. Kurikulum pendidikan yang kurang tepat bagi siswa atau sekolah justru akan memberi masalah masalah baru dalam dunia pendidikan, karna kurikulum baru belum tentu sesuai dengan siswa atau dapat di terima siswa tersebut  bahkan mungkin siswa ustru tidak siap dengan sistem baru yang mungkin dapat menyusahkan mereka, lalu mengapa sistem pendidikan di indonesia hampir sering di gonta ganti, mengapa sekolah atau lembaga pendidikan tidak memfokuskan diri pada satu sistem atau kurikulum supaya siswa dapat menyesuaikan dan menerima sistem tersebut dengan baik
           Seperti kita tahu saat ini bahwa kurikulum di indonesia sering di gonta ganti tanpa memikirkan dengan serius apakah siswa dapat menerina dan beradapyasi dengan sistem atau kurikulum yang baru tersebut. Kurikulum di indonesia sudah berganti sekitar enam kali mulai dari kurikulum tahun 1984 yang kemudian di ganti dengan kurikulum 1975 dan di perbaharui lagi dengan kurikulum 1984 sampai akhirnya indonesia memakai kurikulum 2004  atau sering di sebut dengan KTSP. Lalu apa sebenarnya maksut dan tujuan pemerintah menganti kurikulum yang sudah di terapkan dengan kurikulum baru yang belum tentu dapat beradaptasi dengan siswa atau peserta didik.
           Tujuan pemerintah mengganti kurikulum dalam pendidikan tidak lain adalah karna ingin memperbaiki mutu pendidikan supaya bisa berkembang lebih baik dari sebelum nya. Tapi apakah demikian. Pada kenyataan nya tidak ada perubahan mutu yang di berikan oleh pendidikan di indonesian bahkan mutu pendidikan selama kurang lebih dalam lima tahun ini memberikan hasil yang mengecewakan, justru perubahan kurikulum pendidikan yang begitu cepat menimbulkan masalah masalah baru dalam dunia pendidikan, seperti halnya banyak prestasi siswa ang menurun hal ini mungkin di sebabkan karna siswa tidak dapat menyesuaikan diri dengan sistem pembelajaran pada kurikulum yang baru. Lalu apakah pemerintah memikirkan masalah yang demikian, saya rasa tidak pemerintah mungkin lebih berfikir dampak positif yang hanya memudahkan sebagian pihak saja. Sebenarnya begitu banyak terhadap mutu pendidikan tidak hanya karna pergantian kurikulum, tapi sejatinya kurikulum merupakan dasar dari jalannya program pendidikan.
           Dampak dari kurikulum pendidikan yang bergonta ganti bukan hanya memberikan dampak negatif terhadap siswa yang semakin merendah prestasi nya sebetulnya perubahan ini juga dapat berdampak pada sekolah yaitu pada tujuan atau visi sebuah sekolah juga akan ikut ikutan kacau. Contoh saja bila sebuah sekolah memiliki satu tujuan atau sati visi tentu sekolah tersebut akan berusaha untuk mencapai tujuan nya, dan untuk memenuhi sebuah visi tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat, ketika mereka telah memfokuskan diri pada visi yang telah di susun secara tiba tiba kurikulum di ganti tentu sekolah tersebut harus mengganti tujuan yang ingin di capai. Mungkin pemerintah merasa bahwa perubahan kurikulum dapat memberi perubahan yang lebih baik pada mutu pendidikan, tapi nyata nya tidak demikian
           Lalu bagaimana mutu pendidikan bisa lebih baik sesuai dengan tujuan perubahan kurikulum. Di dalam sebuah lembaga pendidikan memiliki banyak aktor yang semuanya berpengaruh pada mutu sebuah pendidikan seperti halnya kepala sekolah, guru atau tenaga pengajar, siswa didik dan bahkan sebuah lembaga itu sendiri. Untuk mendapatkan mutu pendidikan yang baik maka semua aktor dalam pendidikan harus berfungsi dengan baik misalkan saja kepela sekolah. Kepala sekolah adalah tombak keberhasilan sebuah sekolah di jelaskan dalam sebuah buku bahwa seorang pemimpin adalah faktor penentu sebuah keberhasilah lembaga untuk memimpim sekolah dengan baik seorang kepalah sekolah harus membina hubungan baik pula dengan atasan nya seperti komite dan pemerintah kepala sekolah juga harus mampu membina hubngan baik dengan bawahannya, dalam hal ini bawahan nya adalah gurustaf dan siswa kepala sekolah harus mengenal baik sebagian besar bawahan nya ntuk memahami mereka sehingga kepala sekolah mampu membuat keputusan yang sekiranya dapat di terima oleh bawahannya, selain itu kepala sekolah harus membina hubungan baik dengan lingkungan sekolah karna pada dasarnya sekolah dan masyarakat memiliki hubungan saling menerima dan memberi. Aktor penting kedua yaitu guru mutu sebuah pendidikan yang baik di wujutkan dengan output atau siswa didik yang bermutu dan siswa didik yang bermutu adalah hasil usaha dari guru yang profesional lalu bagaimana guru yang profesional. Guru profesional bukan hanya guru yang memiliki sertifikasi bagus atau mungkin lulusan universitas terbaik dengan ipk terbaik namun guru yang profesional adalah guru yang dapat memberikan pelajaran dan dapat di terima oleh siswa dengan baik agar sebuah pelajaran dari guru dapat di terima dengan baik maka seorang guru harus memiliki habungan yang baik dengan siswa. Hubunngan baik yang di maksutkan di sini adalah guru mampu memfasilitasi siswa yang ingin bertanya kepadanya tanpa mempersulit siswa tersebut meskipun harus di luar kelas karna dengan hubungan guru dan siswa bisa lebih luas bukan hanya sebatas lebar ruang kelas saja. Faktor ke tiga yang juga penting dalam usaha peningkatan mutu pendidikan adalah siswa atau peserta didik untuk memajukan sebuah mutu pendidikan sebuah sekolah harus memiliki siswa yang bermutu dalah hal pelajaran atau yang lainnya, lalu seperti apa siswa yang bermutu, siswa yang bermutu adalah siswa yang mampu menerima pelajaran dengan baik, siwa yang mau belajar denga giat dan kritis dalam setiam pelajaran yang dia ikuti hal ini dapat di wujudkan dengan banyak bertanya kepada guru atau teman serta evaluatif terhadap mata pelajaran nya, kemampuan siswa yang demikian tidak mungkin bisa tumbuh dengan begitu saja tentu disini harus ada peran sekolah untuk menjadikan siswa didik seperti demikian seperti hal nya dengan mengadakan ekstrakulikuler yang mendukung prestasi siswa dalam kelas. selain tiga faktor penting dalam pendidikan faktor lain juga sangat mempengarui peningkatan mutu sebuah pendidikan yaitu fasilitas sekolah yang memadai, tentu hal ini juga sangat penting jika sebuah sekolah minim dengan fasilitas pendidikan lalu bagaimana siswa dapat belajar dengan maksimal, fasilitas sekolah yang di maksutkan di sini seperti laboltorium sekolah yang lengkap dan nyaman untuk pembelajaran, perpustakaan yang lengkap dengan buku buku yang menarik untuk di baca dan didiskusikan, serta ruang kelas yang mampu memberi kenyamanan siswa untuk betah belajar dan berlama lama di dalam kelas mereka bukan ruang kelas yang panas dan sesak. Seharusnya pemerintah memikirkan hal hal tersebut sebelum mengganti kurikulum dalam pendidikan.
           Lalu apakan kurikulum yang di pakai di indonesia saat ini yaitu KTSP sudah tepat dan memenuhi faktor faktor yang penting untuk meningkatkan mutu sebuah pendidikan. Dalam buku penerapan KTSP dan implementasinya di jelaskan KTSP adalah sebuah kurikulum yang di mana guru memiliki peran sebagai motifator dan fasilitator siswa dalam rangka meningkatkan prestasi nya dan dalam kurikulum ini siswa memiliki hak penuh untuk meningkatkan bakat dan prestasi nya serta siswa harus mampu bersaing dengan siswa lainnya untuk mendapat prestasi yang bagus. Jika seperti ini apakah ini bukan berarti memudahkan guru, bagaimana tidak jika guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motiifator berati guru tidak di tuntut menguasai materi yang ada karna dalam kurikulum ini tidak ada fungsi guru untuk meberi materi, guru hanya berperan untuk motifator saja, berati apakah guru tidak harus mengajar dan memberi pengetahuan bagi siswa. Lalu apakah ini adil untuk siswa sistem yang di terapkan untuk siswa adalah siwa harus belajar sendiri karna di dalam kelas guru hanya memberikan informasi yang minim dan selebih nya guru hanya membri motivasi dan dorongan untuk siswa supaya mau belajar dan belajar kemudian siswa di harapkan dapat mencari tambahan materi dan memperkaya informasi secara mandiri. Di nilai dari segi positif nya memang bagus karna dengan demikian siswa tentu akan mengulang kembali pelajaran yang di dapatnya dari sekolah dan siswa akan berusaha untuk mendapat informasi yang selengkap mungkin mungkin karna sistem seperti ini siswa yang awalnya malas untuk membaca dan bertannya menjadi siswa yang rajin dan aktif. Ini tepat untuk siswa yang memiliki modal untuk melakukan semuanya seperti memiliki fasilitas internet untuk mencari informasi atau memiliki buku untuk di baca dan di jadikan refrensi, lalu bagai mana dengan siswa yang minim akses atau mungkin memiliki kepentingan lain di luar jam sekolah seperti membantu orang tuanya untuk mencari tambahan biaya sekolah dan sebagainya atau bahkan tidak munafik bagai mana dengan siswa yang masih belum bisa beradaptasi dengan kurikulum baru dan belum memiliki sifat rajin dan evaluatif apakah hal ini tidak justru mematikan mereka karna mereka akan semakin bodoh jika di berikan sistem pendidikan seperti demikian.
           Tentu hal ini akan membuat hasil yang di peroleh oleh masing masing siswa akan berbeda dalam sistem yang demikian maka akan di temukan siswa yang sangat pandai dan siswa yang mungkin sangan bodoh atau tertinggal banyak pelajaran karna minimnya akses untuk mencari tambahan materi. Jika seperti ini apakah pendidikan tak ubahnya dengan sebuah permainan lotre semua siswa harus membayar dengan harga yang sama namun karna kurikulum yang tidak dapat beradaptasi dan di terima oleh sebagaian pihak maka belum tentu mereka akan mendapatkan hasil pendidikan yang sama. Seharusnya pendidikan atau kurikulum pendidikan memberikan fasilitas penuh kepada siswa untuk bisa mendapat hak yang sama dalam pendidikan dan sebaiknya gurupun menggunakan fungsi nya untuk mampu memberikan fasilitator dan motifator kepada siswa untuk berprestasi dengan memberikan kesempatan dan hak yang sama antara satu siswa dengan siswa yang lain.
           Jika kurikulum yang baru tidak efekti ataukurang efektif untuk meningkatkan prestasi siswa secara keseluruhan mengapa pemerintah masih saja suka untuk mengganti kurikulum dalam pendidikan. Mengapa tidak mengadapasikan kurikulum yang lama secara serius sampai dapat di terima oleh dunia pendidikan bukan dengan cara tidak cocok ganti seperti demikian. Padahal belum tentu juga kalau yang baru akan sesuai dan dapat beradaptasi cepat dengan siswa serta dapat di terima sebagai tujuan pendidikan yang tepat dan dapat meningkatkan mutu pendidikan saat ini
           Dalam menentukan kurikulum dan membuat kurikulum baru supaya dapat di terima oleh siswa bagaimana seharusnya langkah yang harus di lakukan oleh pemerintah? Seharusnya pemerintah memakai konsep teori AGIL dalam sebuah perencanaan kurikulum baru. Lalu bagaimana AGIL di terapkan dalam perncanaan kurikulum baru. Pertama A atau yang kita tahu adalah adaptasi. Yaitu bagaimana sistem dari kurikulum tersebut dapat beradaptasi dengan siswa untuk dapat beradaptasi sistem yang baru harus di sesuaikan dengan kondisi siswa pada umum nya bukan hanya memikirkan siswa yang bersikap positif atau dalam hal ini rajin untuk belajar tapi juga harus memperhatikan siswa yang masih belum bisa rajin yaitu dengan memikirkan cara bagaimana membuat siswa yang masih belum rajin tersebut menjadi rajin seperti dengan adanya fasilitas fasilitas yang mampu menarik perhatian siswa tersebut karna sejatinya tidak mungkin ada anak yang benar banar malas untuk melakukan hal apapun pasti dia memiliki satu hobi atau satu kesukaan yang dapat membuatnya untuk tidak malas. Jika di ras kurikulum tersebut dapat sesuai dan dapat di adaptasikan dengan keadaan siswa saat ini maka kurikulum tersebut dapat di terapkan oleh pemerintah dalam sebuah lembaga pendidikan dan tentu kemungkinan besar kurikulum yang dapat beradaptasi cepat dengan siswa akan di terima dan memberikan peningkatan mutu dalam pendidikan. Konsep yang ke dua yaitu G yaitu Goal atau yang biasa kita kenal dengan tujuan. Dimana sebuah sistem dalam kurikulum pendidikan harus memiliki tujuan yang jelas dan memastikan bahwa tujuan tersebut dapat di capai bukan hanya anggan anggan serta tujuan harus sejalan dengan tujuan pendidikan pada dasarnya yaitu untuk memajukan mutu pendidikan dengan memperbaiki output atau siswa, untuk memperbaiki output tentu harus menyesuaikan dengan masing masing siswa tidak mungkin satu siswa dengan siswa yang lain memiliki kemampuan berfikir dan bekerja yang sama dalam hal ini untuk mecapai tujuan tersebut sistem harus mampu memfasilitasi masing masing kemampuan berfikir dari masing masing siswa misalkan saja ada siswa yang hanya dengan membaca dia mampu untuk bersaing bengan siswa lain maka sistem harus mau menyediakan fasilitas yang mendukung siswa tersebut untuk membaca adapula yang memiliki kemampuan di bidang olahraga dan seni maka sistempun harus mendukung fasilitas untuk siswa tersebut mengembangkan bakat nya, jadi dapat di ambil kesimpulan tidak hanya tujuan yang jelas. Tapi seberapa kemampuan pemerintah untuk mencapai tujuan dari kurikulum baru yang di buat nya maka pemerintah harusnya tidak sekadar merubah kurikulum tapi juga harus mampu mendanai untuk proses pencapaian tujuan dari kurikulum tersebut. Kemudian yang ke tiga adalah I yaitu integrasi di mana sistem dari kurikulum yang baru harus mampu mengintegrasi aktor aktor dalam pendidikan yang meliputi guru, lembaga dan siswa dalam rangka proses untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan. Kemudia yang ke empat adalah L yaitu latensi. Bagaimana tujuan dalam sebuah pendidikan dapat menjaga nilai nilai dalam masyarakat dan tidak terselubung fungsi fungsi laten dalam lembaga.
           Jadi untuk menyusun kurikulum yang tepat dan baik dapat menggunakan konsep AGIL sehingga sistem dalam kurikulum yang baru dapat di terima oleh siswa dan guru serta dapat di jalankan dengan bail oleh lembaga pendidikan untuk mencapai yujuan yang di inginkan bersama.

B.     Paradigma Pendidikan Islam
          Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
          Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang memanusiakan. Pandangan bahwa pendidikan sebagai kegiatan yang sangat sakral dan mulia telah lama diyakini oleh manusia. Namun di dekade 70-an dua orang tokoh pendidikan, yaitu Paulo Freire dan Ivan Illich melontarkan kritik yang sangat mendasar tentang asumsi tersebut. Mereka menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini disakralkan dan diyakini mengandung nilai-nilai kebajikan tersebut ternyata mengandung penindasan.[2] 
          Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam terdapat beberapa hal yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre intelektual senantiasa dilandasi oleh :
1)      Menempatkan kembali seluruh aktifatas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah swt.
2)      Adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan adalah kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non agama dalam dunia Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
3)      Perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual.
4)      Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi dapat diaplikasikan dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada.
5)      Adanya perhatian dan dukungan dari para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah akan mempercepat penemuan kembali peradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.
          Dan juga untuk Mengatasi Penyimpangan Pergaulan Pelajar Keluarga merupakan institusi yang utama dan pokok dalam masalah pendidikan karena keluarga merupakan tempat dimana seseorang melakuan yang seharusnya dilakukan, dengan keluarga maka seseorang dapat mengenal apa yang belum pernah didengar. Moral bukanlah suatu pelajaran yang dicapai dengan mempelajari saja, tanpa pembinaan dalam kesehariaan dalam hidup bermoral sejak dini.
          Menurut Nalland (1998) ada beberapa sikap yang harus dimiliki orangtua terhadap anaknya pada saat memasuki usia remaja, yakni :
·         Orang tua perlu lebih fleksibel dalam bertindak dan berbicara.
·         Kemandirian anak diajarkan secara bertahap dengan mempertimbangkan dan melindungi mereka dari resiko yang mungkin terjadi karena cara berfikir yang belum matang. Kebebasan yang dilakukan remaja terlalu dini akan memudahkan remaja terperangkap dalam pergaulan buruk, obat-obatan terlarang, aktifitas seksual yang tidak bertanggung jawab dll
·         Remaja perlu diberi kesempatan melakukan eksplorasi positif yang memungkinkan mereka mendapat pengalaman dan teman baru, mempelajari berbagai keterampilan yang sulit dan memperoleh pengalaman yang memberikan tantangan agar mereka dapat berkembang dalam berbagai aspek kepribadiannya.
·         Sikap orang tua yang tepat adalah sikap yang authoritative, yaitu dapat bersikap hangat, menerima, memberikan aturan dan norma serta nilai-nilai secara jelas dan bijaksana. Menyediakan waktu untuk mendengar, menjelaskan, berunding dan bisa memberikan dukungan pada pendapat anak yang benar.
·         Selain itu peranan sekolah sangatlah membantu dalam membentuk karakter anak karena dengan adanya sekolah maka pendidikan yang tidak dapat  di rumah akan mereka dapatkan di dalam sekolah. Sekolah mempunyai fungsi sebagai pembina dan pendidikan moral. Sekolah hendaknya mengusahakan lapangan bagi tercapainya pertumbuhan pengembangan mental dan moral pesertadidik. Dengan demikian sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral, dan sosial serta segala aspek kepribadiaan dapat berjalan dengan baik. Dalam sebuah sekolahan harus mempunyai metode dan strategi yang efektif dalam pelaksanaannya selain itu pendidikan agama hendaknya dilakukan secara intensif berkesinambungan, baik dalam kelas maupun di luar kelas.
          Menurut Pidarta (2007:170), sejak dini anak-anak perlu dididik berpikir kritis. Kemampuan untuk mempertimbangkan secara bebas dikembangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberi kesempatan mengamati, melaksanakan, menghayati dan menilai kebudayaan itu. Cara ini membuat anak tidak menerima begitu saja suatu kebudayaan melainkan melalui pemahaman dan perasaan dikala berada dalam kandungan budaya itu, yang akhirnya menimbulkan penilaian menerima, merevisi, atau menolak budaya itu. Pendidikan seperti ini membuat anak-anak terbiasa dengan pemikiran yang terbuka dan lentur. Dibutuhkan strategi yang benar-benar bagus dalam mewujudkan pendidikan moral yang efektif dan aplikatif. Beberapa diantaranya adalah:
·         Pendidikan dapat di lakukan dengan memantapkan pelaksanan pendidikan agama.
·         Pendidikan agama harus dirubah dari metode pengajaran menjadi pendidikan agama agar dapat belajar sopan santun.
·         Pendidikan moral harus dilaksanakan secara integraed, yaitu dengan melibatkan semua pihak yang bersangkutan baik keluarga, sekolahan, masyarakat agar kemrosotan moral dapat di minimalisir keberadaannya.
          Adapun peran masyarakat yang dapat membantu mengatasi problematika pergaulan pelajar yang terjadi saat ini salah satunya yaitu dengan mengadakan penyuluhan mengenai dampak yang akan ditimbulkan jika para pelajar terjerumus pada pergaulan yang menyimpang seperti menggunakan obat-obatan terlarang, minum-minuman keras sampai pada pergaulan bebas.
C.    Macam-macam Paradigma Pendidikan Islam
          Henry Giroux dan Arronnawitz membagi paradigma pendidikan ke dalam tiga aliran utama, yaitu :

a.      Paradigma konservatif
          Yaitu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi. Paradigma pendidikan konservatif sangat mengidealkan masa silam (past oriented) sebagai patron ideal dalam pendidikan. Paradigma konservatif melahirkan jenis kesadaran sebagaimana yang disebutkan oleh Paulo Freire, sebagai kesadaran magis. Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan antara satu faktor dengan faktor lainnya sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar kesadaran manusia sebagai penyebab dari segala kejadian.[3]
          Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik atau awal paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya.
b.      Paradigma pendidikan kritis
          Yaitu paradigma pendidikan yang menganut bahwa pendidikan adalah diorientasikan pada refleksi kritis terhadap sistem dan struktur sosial yang menyebabkan terjadinya berbagai ketimpangan. Paradigma pendidikan kritis mengarahkan peserta didik pada kesadaran kritis, yaitu jenis kesadaran yang melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling terkait satu sama lain. Paradigma pendidikan sangat berimplikasi terhadap pendekatan dan metodologi pendidikan dan pengajaran. Salah satu bentuk implikasi tersebut adalah perbedaan bentuk dalam pola belajar mengajar antara pola paedagogy dengan pola andragogy.
          Bagi Freire, selaku tokoh penggagas pendidikan kritis. Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan akan realitas bagi Freire tidak hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya secara sinergis. Objektivitas dan subjektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis, kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah dua fungsi dialektis yang konstan/tetap dalam diri manusia. Oleh karena itulah menurut Freire, pendidikan harus tampil metode yang mengarahkan manusia pada perwujudan kesadaran subjektif yang kritis dan pemahaman akan realitas yang objektif dan akan mengantarkan manusia pada suatu kesadaran kritis yang konstruktif dalam membangun dunianya ke arah yang lebih konstruktif. 
          Dalam pelaksanaan pendidikan sebagai proses timbal balik antara pendidik dengan anak didik melibatkan faktor-faktor pendidikan guna mencapai tujuan tujuan pendidikan dengan didasari nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tertentu itulah kemudian disebut sebagai dasar paradigma pendidikan. Istilah dasar paradigma pendidikan dimaksudkan sebagai landasan tempat berpijak atau pondasi berdirinya suatu sistem pendidikan.
          Dasar paradigma pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-quran dan al-Hadis. Dari kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah pendidikan Islam. (Muhaimin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan pemikirannya). Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip, teori, dan teknik pendidikan Islam.
c.       Paradigma islam sebagai alat analisis konsep pendidikan islam
          Sutari Imam Barnadib berpendapat bahwa alat pendidikan adalah “suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan tindakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan”. Sementara Ahmad D. Marimba mendefinisikannya sebagai “segala sesuatu atau apa yang dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan.” Ramayulis mengatakan bahwa dari beberapa literatur tidak terdapat perbedaan antara alat dengan media pendidikan. Oleh karenanya, ia tidak membedakan antara alat dengan media. Zakiah Daradjat juga tidak membedakan antara alat dengan media. Menurutnya, media atau alat pendidikan meliputi segala sesuatu yang dapat membantu proses pencapaian tujuan pendidikan.[4]
          Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa alat juga merupakan komponen penting dalam pendidikan. Dengan alat tersebut, tujuan pendidikan akan mudah untuk dicapai. Alat pendidikan memiliki peranan penting dalam proses pendidikan dalam mencapai satu tujuan. Menurut Yusuf Hadi Miarso, dkk, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis bahwa alat/media pendidikan itu mempunyai nilai-nilai praktis yang berupa kemampuan antara lain:
1)      membuat konkrit konsep yang abstrak.
2)      membawa obyek yang sukar didapat ke dalam lingkungan belajar siswa.
3)      menampilkan obyek yang terlalu besar.
4)      menampilkan obyek yang tak dapat diamati dengan mata telanjang.
5)      mengamati gerakan yang teralu cepat
          Mengenai pentingnya alat ini, Ali Jumbulati juga menyatakan bahwa dalam pekerjaan mengajar, alat-alat peraga merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas, yang berlawanan dengan kebiasaan merumuskan kalimat-kalimat yang ditulis atau diucapkan.
          Adapun fungsi alat pendidikan, D. Ahmad Marimba menyebutkan setidaknya ada tiga fungsi alat pendidikan, yaitu sebagai perlengkapan, sebagai pembantu mempermudah usa mencapai tujuan, dan sebagai tujuan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, seperti tujuan mempelajari bahasa Arab untuk mengetahui isi al-Qur’an. Dengan demikian, alat pendidikan sangat membantu terwujudnya tujuan pendidikan. Oleh karena itu, Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain menyebut media sebagai alat bantu sekaligus sumber belajar.
          Adapun jenis dari alat tersebut, tidak saja berupa benda (material) tetapi juga yang bukan benda (non materi). Menurut Zakiah Dardjat, alat berupa benda ini meliputi: pertama, media tulis atau cetak seperti al-Qur’an, hadis, tauhid, fiqh, sejarah, dan sebagainya; kedua, benda-benda alam seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, zat padat, zat cair, zat gas, dan sebagainya; ketiga, gambar-gambar, lukisan, diagram, peta dan grafik. Alat ini dapat dibuat dalam ukuran besar dan dapat pula dipakai dalam buku-buku teks atau bahan bacaan lain; keempat, gambar yang dapat diproyeksi, baik dengan alat atau tanpa suara seperti foto, slide, film strip, televisi, video, dan sebagainya; dan kelima, audio recording (alat untuk didengar) seperti karet tape, radio, piringan hitam, dan lain-lain yang semuanya diwarnai dengan ajaran agama.
          Adapun alat yang berupa non-benda, dapat berupa keteladanan, perintah/larangan, ganjaran dan hukuman, dan sebagainya. Jadi, alat berupa non-benda ini tampaknya sama dengan metode. Hal ini dapat diterima mengingat bahwa metode juga dapat disebtu sebagai alat pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
          Dari pembagian alat pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa alat pendidikan tersebut amat luas cakupannya seperti TV, LCD, komputer, dan sebagainya.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

          Makalah ini berusaha menyorot problem-problem utama yang dihadapi pendiddikan Islam kontemporer yang antara lain meliputi :

a)      Dikotomi

b)     Too general knowledge

c)      Memorisasi

d)     Lack of spirit of inquiry

e)      Certificate Oriented

          Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
          Henry Giroux dan Arronnawitz membagi paradigma pendidikan ke dalam tiga aliran utama, yaitu :
a.       Paradigma konservatif
b.      Paradigma pendidikan kritis
c.       Paradigma islam sebagai alat analisis konsep pendidikan islam

B.     Saran
       Semoga makalah ini memberikan mamfaat dalam dunia pendidikan islam. Dan kami dari penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan isi makalah masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan baik dari segi kata bahasa dan kalimat, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Anam, M. Khoirul, Melacak Paradigma Pendidikan Islam. Gema Insani, Jakarta: 2002
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006.
Beni Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Bandung : Pustaka Setia, 2009),






[2] Anam, M. Khoirul, Melacak Paradigma Pendidikan Islam. Gema Insani, Jakarta: 2002 hlm 234

[3]Beni Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm 36
[4] Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006. Hlm120

 

1 komentar:

  1. boleh tau dimana nyari sumbernya mbak? saya juga mahasiswi stai, bingung mau cari bukunya.
    terimakasih

    BalasHapus